~*~ Standar Kebahagiaan ~*~

Bahagia dan Sedih, dua elemen non-fisik yang ada di dalam tubuh manusia. Dimana terdapat kondisi -biasa- diantara keduanya. Tiga hal itu kita sebut dengan perasaan yang mana hal ini menggambarkan kondisi yang sedang dialami oleh seorang manusia.

Bahagia dikala nikmat terasa, sedih dikala terpuruk melanda dan biasa saja dikala tidak merasa sedih maupun bahagia. Bahagia, biasa saja dan sedih sesungguhnya merupakan aktivitas hati serta jiwa yang merasakannya. Meski bisa jadi itu diawali dulu oleh aktivitas raga.

Dalam era kekinian ditopang dengan kemajuan teknologi yang luar biasa memanjakan kita untuk selalu ingin memenuhi segala apapun untuk kita miliki. Sehingga saat kita memilikinya maka rasa bahagia itupun akan menghampiri. Itulah setidaknya prinsip yang terjadi dalam era globalisasi ini. Jika ingin punya apa itu kebahagiaan, milikilah dunia maka engkau akan terasa bahagia.

Ketika standar kebahagiaan seseorang terukur dengan seberapa banyaknya materi, seberapa seringnya jalan-jalan maka itulah level terendah ketika dia ingin merasakan kebahagiaan. Selama apa yang diinginkannya itu belum tercapai maka selama itu pula rasa bahagia yang diharapkannya belum terpenuhi. Diri ini tidak membahas apakah orang itu mampu membelinya atau tidak, melainkan lebih condong pada aktivitas hati dimana level standar orang itu kapan akan merasakan kebahagian. 

Sebagai permisalan saat mengukur kebahagiaan memiliki kendaraan. Si A memiliki standar level kebahagiaannya adalah harus memiliki sebuah mobil maka dia baru bisa merasakan kebahagiaan dan jika belum memilikinya maka akan terasa ada yang kurang dalam kehidupannya. Disini bisa kita coba bandingkan dengan standar level kebahagian si B yaitu dia akan bahagia ketika memiliki sepeda motor, maka dia belum akan merasa bahagia jika belum memiliki sebuah sepeda motor namun akan merasa sudah bahagia jika telah mempunyai sepeda motor sekalipun tidak atau sudah memiliki mobil. Jadi bagi si B dia sudah bahagia ketika memiliki sepeda motor meski sejatinya dia juga memiliki mobil dan seandainyapun si B belum mampu membeli mobil maka kebahagiaanya itu sudah didapat saat memiliki sepeda motor.

Lantas apakah kita harus melulu menstandarkan rasa bahagia pada tolok ukur materi? Bagi seorang muslim kita hendaknya bisa melihat lagi, mengevaluasi diri apakah pantas kita berada pada level standar kebahagiaan yang diukur dengan materi?

Ketika mampu memiliki rumah gedongan baru bahagia namun dikala susah untuk sholat jamaah, biasa saja. Dikala bisa beli gadget dengan merk ternama sumringah tapi disaat untuk sedekah, gelisah. Jika hal ini terjadi pada diri kita, sepertinya harus ada yang kita rubah mindset berfikir kita.

Ada baiknya kita merubah standart kebahagiaan kita dari standar kebanyakan orang dalam era sekularisme kapitalisme ini yang seakan-akan kebahagiaan hanya berdasarkan materi. Jadikanlah standart kebahagiaan kita dalam bingkai nilai Islami. 

Alangkah indahnya jikalau kita berbahagia tatkala diri kita dipermudah dalam beribadah. Kita bisa sumringah dimana kita ringan untuk sedekah. Begitupun disaat lelah dalam berdakwah, berbahagialah. Konon orang yang hobi main futsal atau olahraga apapun itu meski lelah tapi mereka bahagia. Tentunya ketika kita lelah dalam rangka beribadah lebih pantas dan layak untuk menyebut KITA BAHAGIA.

Komentar

  1. Kedatangan Aqila bersama abi dan uminya, bisa bikin bahagia looh...
    ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apalagi ada semur telor wow tambah bahagia neh, huehue

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer